PERNAHKAH kita membayangkan bisa beramal shalih selama ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun? Tentu tidak. Sebabnya, tak ada seorang pun dari umat Muhammad yang bisa hidup ribuan tahun. Karena itu mustahil mereka bisa beramal shalih selama ribuan tahun.
Bagaimana jika pertanyaannya diganti: Adakah amal yang pahalanya bisa terus mengalir ratusan tahun, atau ribuan tahun, atau bahkan hingga berakhirnya kehidupan di dunia ini? Tentu ada. Itulah yang disebut wakaf.
Wakaf, menurut para ulama, adalah bentuk sedekah yang dinyatakan dan digambarkan di dalam Hadis Nabi saw., yaitu sedekah jariyah. Pahala wakaf akan terus mengalir kepada pelakunya meski ia telah wafat. Rasul saw. bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan dirinya.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan hadis ini, sedekah jariyah identik dengan wakaf (Abu Thayyib, ‘Awn al-Ma’bûd, 8/62).
Dengan demikian wakaf atau amal jariyah adalah sebutan bagi amalan yang pahalanya terus mengalir walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah wafat.
Namun demikian, selain dari ketiga jenis amal di atas, ada beberapa amal lain yang juga termasuk wakaf atau amal jariyah. Hal ini pun didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما علمه ونشره وولدا صالحا تركه ومصحفا ورثه أو مسجدا بناه أو بيتا لابن السبيل بناه أو نهرا أجراه أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته يلحقه من بعد موته
“Sungguh di antara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah pelakunya wafat ialah: ilmu yang dia sebarluaskan, anak salih yang dia tinggalkan, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah yang dia dirikan untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan, sungai yang dia alirkan untuk kepentingan orang banyak dan harta yang dia sedekahkan saat sehat dan hidupnya. Semua itu akan mengalirkan pahala bagi dirinya setelah wafatnya.” (HR Ibnu Majah).
Hadis di atas diperkuat antara lain oleh sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّة
“Siapa saja yang membangun sebuah masjid karena Allah meski sebesar sarang burung atau lebih kecil sekalipun, Dia akan membangunkan untuk dirinya sebuah rumah di surga.” (HR Ibnu Majah).
Rasulullah saw. pun bersabda:
“Siapa saja yang membangun sebuah sumur, lalu airnya diminum oleh jin atau burung yang kehausan, maka Allah akan memberi dia pahala kelak pada Hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah).
Para Sahabat Nabi saw. dulu adalah generasi yang sangat gemar dan banyak berwakaf. Jabir ra. menuturkan bahwa tidak seorang pun dari Sahabat Nabi saw. yang memiliki kemampuan kecuali ia mewakafkan hartanya (Ibrahim ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Muflih, Al-Mubdi’, 6/312).
Menurut Imam Syafii, wakaf dari para Sahabat Nabi saw. itu hampir tak terhitung jumlahnya. Wakaf Nabi saw., keluarga beliau (Ahlul Bait) dan kaum Muhajirin terkenal luas di Madinah dan Makkah. Lebih dari delapan puluh Sahabat dari kalangan Anshar juga mewakafkan sebagian besar hartanya. Harta wakaf mereka masih ada hingga sekarang (Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, 10/233).
Wakaf – Investasi Terbaik
Begitulah wakaf. Harta ‘abadi’ yang pahalanya terus mengalir sampai jauh meski pelakunya sudah wafat ratusan bahkan ribuan tahun lalu.
Karena itu seorang Mukmin yang cerdas tak mungkin mengabaikan amal shalih berupa wakaf atau sedekah jariyah ini. Sebabnya, ia sangat paham, sekadar mengandalkan amal shalihnya seperti shalat-shalat sunnah, misalnya, pahalanya akan berakhir saat ia wafat dan shalat itu tak bisa lagi ia tunaikan. Berbeda dengan wakaf, pahalanya akan terus mengalir meski pelakunya telah wafat, ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Wakaf atau amal jariyah adalah amal yang utama. Sebagai amal utama, wakaf bisa diniatkan atas nama pribadi atau orang lain (misal: ayah/ibu) yang sudah wafat.
Dalam hal ini Ibn ‘Abbas bertutur:
Saad ibn ‘Ubadah pernah berkata kepada Nabi saw, “Ibuku telah wafat, sementara aku tidak ada di sisinya. Apakah bermanfaat bagi beliau jika aku bersedekah atas namanya?” Nabi saw. menjawab, “Iya, tentu saja.” Saad berkata lagi, “Kalau begitu, persaksikanlah bahwa kebunku al-Mihrâf ini disedekahkan (diwakafkan) atas nama ibuku.” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat an-Nasa’i dan ad-Daraquthni, Saad juga mewakafkan sumur atas nama ibunya yang sudah wafat.
Selain boleh atas nama pribadi (perseorangan), wakaf juga bisa diatasnamakan secara kolektif. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Bani Najar pernah mewakafkan kebun mereka untuk Masjid Nabawi pada masa Nabi saw.
Yang penting, harta wakaf haruslah harta yang halal zatnya, bisa dimanfaatkan dan halal diperjualbelikan. Harta wakaf juga harus yang zatnya bertahan lama, yakni jika diambil manfaatnya, zatnya masih bertahan. Jika zatnya habis seiring pemanfaatannya seperti makanan, minuman, wewangian, uang dan semisalnya, maka harta seperti ini tidak bisa diwakafkan.
Umar bin al-Khaththab ra. pernah bersedekah dari harta wakaf untuk membiayai jihad fi sabilillah, membebaskan budak, menyantuni orang-orang miskin, para tamu, ibnu sabil dan kaum kerabat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Alhasil, saatnya kita yang memiliki kemampuan untuk berwakaf sebanyak yang kita mampu. Wakaf tersebut bisa dalam bentuk tanah, kebun, bangunan, kendaraan, pakaian dll. Semuanya diperuntukkan manfaatnya untuk kepentingan Islam dan kemaslahatan kaum Muslim.
Dengan keutamaan wakaf atau sedekah yang luar biasa itu, tentu sangat aneh jika ada seorang Muslim yang tak tertarik untuk gemar dan banyak berwakaf. Apalagi jika ia seorang yang punya kemampuan secara materi atau termasuk aghniya’ (kaya).
Sayang, sering orang lebih suka menyimpan (menabung/menginvestasikan) uangnya di bank. Ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Padahal berapa miliar pun uang ditabung/diinvestasikan di bank, ia akan habis atau lenyap.
Berbeda dengan jika uang tersebut “ditabung/diinvestasikan” di “bank akhirat”. Salah satunya dalam wujud wakaf atau sedekah jariyah. Pasti hartanya akan abadi. Akan tetap ada meski dia telah wafat. Akan tersimpan di akhirat. Akan tetap bisa ia nikmati. Bahkan dengan kadar yang berlipat ganda. Tentu dalam bentuk yang lain, yakni pahala yang terus mengalir hingga Hari Kiamat. Yang jauh lebih penting, insya Allah wakaf atau sedekah jariyah adalah “investasi terbaik” yang akan berbuah surga.
Semoga kita termasuk orang-orang yang cerdas, yang bukan saja amat paham keutamaan wakaf, tetapi juga menjadi pelaku utamanya. Semoga saja kita bisa.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
Sumber Tulisan : Ust Arief B Iskandar